Masjid Raya Baiturrahman yang sedang direnovasi. Masjid ini tak hanya jadi penanda di Kotaraja melainakan tempat yang mencatat cerita-cerita jamaah di Serambi Mekah. |
Sebuah
kabar datang dari jauh. Permintaan pulang dari seorang ibu di Lhoksumawe kepada
anaknya yang berada di Jakarta. Pesan itu adalah perintah untuk memimpin
pemindahan kuburan massal sisa Daerah Operasi Militer dengan jasad yang telah
jadi tulang belulang untuk orang-orang yang dianggap pengikut Gerakan Aceh
Merdeka.
Sang
anak yang berada dalam jarak pada akhirnya mengiyakan untuk kembali ke kampung
halamannya, mencari sisa kenangan pada tengkorak sahabat karibnya yang
tertembak tepat di tempurung kepala, dan menyelesaikan pemakaman yang masif itu
secara agama; memandikan, memakaikan kain kafan, lalu menguburkan satu-persatu
mayat yang teridentifkasi a la kadarnya.
Nukilan
fiksi ini adalah bagian cerita pendek Dua
Tengkorak Kepala yang ditulis Motinggo Busye. Ada pengalaman pulang yang
tak biasa karena masa lalu ditemukan dalam bercak darah yang mengering dan
tragedi menjadi materi lisan yang dituturkan sehari-hari. Yang tertinggal dari
cerita itu adalah sejarah tak mutlak menjadi milik pemenang. Ia milik
orang-orang yang berani pulang menemui kenyataan yang tak selamanya indah,
ingatan-ingatan yang menggugurkan romantisme.
Namun
Aceh yang saya jumpai kemarin bukanlah Aceh yang muram.
Sebagai
liyan yang memandang, orang asing yang sampai pada daratan baru, Aceh yang saya
temukan adalah tempat untuk bertukar sapa dalam pertemuan, bertukar nama dalam
perkenalan, dan bertukar cerita menjelang kembali. Di sana tak terlihat lagi
sisa permusuhan. Setiap dialog berujung pada persahabatan baru.
Di
kota itu, setiap kata pada lirik Aceh Lon
Sayang tak akan terlewatkan untuk dinyanyikan. Setiap orang dengan syahdu
mencintai tanah kelahirannya;
Daerah aceh
, Tanoh lon sayang..
Nibak teumpat nyan, lon udep matee..
Nibak teumpat nyan, lon udep matee..
Pada
bait pertama lagu ini, kehidupan dan kematian disandingkan untuk menganggap dua
hal itu bukanlah sebentuk pertentangan. Keduanya membuat Aceh hadir dalam
semangat: Daerah Aceh, tanah ku sayang, di tempat itu aku hidup dan mati.
Bahkan kata "mati" pada lagu itu diulang hingga tiga kali. Ia bukanlah perpisahan
yang menakutkan, justru pertemuan dengan kehidupan baru yang akrab, pengorbanan
untuk tanah tercinta.
Di
Aceh saya menyempatkan diri menikmati Pulau Weh.
Perjalanan
saya lakukan tanpa rencana. Saya berharap bertemu rombongan yang lebih banyak
agar terasa cair dan tak terlihat tersesat. Saya menikmati perjalanan tanpa
tujuan untuk percaya apa yang pernah ditulis Igor Stravinsky pada L'Histoire du soldat: Kadang orang
memilih berjalan tanpa tujuan. Karena tujuan menutup kebebasan.
Saya
menemui beberapa teman perjalanan untuk menikmati Sabang. Tetapi bergabung
dalam rombongan bisa berarti menemui kesalahpahaman karena kesepakatan tak
pernah utuh. Pada sebuah malam, kami yang sudah berada di pantai Iboih dan
memesan tempat menginap, berjanji bertemu orang lain di kota Sabang. Dengan
sisa jam sewa mobil, kami menuju kota Sabang. Selesai perjumpaan itu, sembilan
orang yang akan kembali lagi menuju Iboih tidak menemukan kendaraan pulang
karena waktu pinjam kendaraan telah habis dan berharap pada orang baru yang
kami jumpai bisa mengantarkan kami ke penginapan. Harapan berubah menjadi
komunikasi yang membingungkan.
Dengan
jasa baik teman yang lain, kami diantarkan dari pusat kota menuju penginapan di
Iboih. Untuk menghilangkan kekecewaan, sepanjang jalan menuju Iboih, di mobil
dengan kap terbuka kami menyanyikan lagu-lagu yang pernah diajarkan di sekolah,
mulai dari Bungong Jeumpa hingga Tanah Airku. Sungguh, hari itu kami
merayakan 20 kilometer perjalanan di dekat nol kilometer Indonesia yang
mengharukan.
Dan
malam semakin malam.
Mudahnya
orang-orang menebar senyum adalah dekatnya mereka dengan agama yang Rahmatan
Lil Alamin, bukan hanya menegaskan bahwa senyum adalah ibadah dengan ikhtiar
bibir yang menekuk bisa meluruskan banyak hal, namun barangkali keakraban
dengan pendatang akan menghapus keterasingan dan melupakan konflik masa lalu.
Aceh seperti ibu yang menyambut anaknya pulang.
Pada
abad terdahulu, Hamzah Fansury, seorang sufi dari Fansur, kota di selatan Banda
Aceh pernah mencari Tuhan, riwayat mencatatnya dalam potongan puisi:
Hamzah
Fansury di dalam Mekkah
Mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus terlayu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah
Mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus terlayu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah
Sepertinya,
Tuhan tidak hadir dalam tiap rumah di tanah Serambi Mekah. Dia hadir dalam
senyum dan tawa orang-orang yang menyapa.
Akhirnya,
dengan sisa perasaan rindu untuk kembali, saya masih mengingat senyummu,
perempuan berkerudung warna cokelat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar