Angka tak selalu menjadi tanda pada sebuah
hitungan. Terkadang seribu bermakna sesuatu yang banyak, sesuatu yang tak
terbayangkan untuk mulai dicacah. Sheherazade menciptakan angka 1001 malam yang
menyelamatkan hidupnya dengan dongeng, menghindari hukuman dari sang raja. Di
Persia, tempat matematika berkembang dan diyakini, angka itu terasa seperti
mitos.
Seribu lain berada di Jakarta bagian utara. Sekumpulan
gugus karang dan peradaban membentuk kepulauan seribu, sebentuk tanah administratif
bagian dari daerah khusus ibukota, garis pantai yang tak habis-habisnya
dibicarakan. Tentu saja, angka seribu pada kata kepulauan seribu bukan menunjukkan
banyaknya pulau. Angka itu berarti jumlah yang jamak; daratan, manusia, dan
kisah-kisah yang menghidupinya.
Satu dari pulau-pulau itu adalah Pulau Pramuka. Tidak ada catatan yang bisa disimak tentang sejarah nama Pramuka. Gerakan kepemanduan yang diinisiasi oleh Lord Baden-Powell ini terlanjur meluas sampai Indonesia yang memiliki 17.000 daratan. Kegiatan alam terbuka Praja Muda Karana ini barangkali telah sampai ke kepulauan seribu.
Dalam cerita lain, Pulau Pramuka adalah tempat kedua setelah Pulau Panggang yang berada di sebelah barat. Pulau itu lebih dulu menjadi padat, lalu sebagian orang menciptakan diaspora kecil, berpindah ke timur dan menghuni pulau tetangga. Karena pulau ini merupakan habitat baru, maka semua menjadi mudah ditata, fasilitas publik bisa direncanakan di sana. Dengan aturan dan otonomi, pulau ini ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kepulauan seribu.
Budaya pulau pada awalnya dibentuk dari pertemuan-pertemuan. Siapapun yang berburu di tengah laut membutuhkan sandaran kapal dan tubuh yang lelah. Waktu berburu yang lama membuat nelayan berkoloni dengan perbincangan. Di tengah laut yang begitu luas, mereka menepi agar tak lupa daratan. Di tengah daratan yang sempit, mereka disatukan perbedaan latar belakang dan tempat asal. Jadi tak ada pribumi di antara mereka.
Sekarang mari lupakan kata pribumi.
Setiap orang adalah asing untuk orang lain. Konsep suku dan ras yang berkumpul dalam negara memang tampak janggal bahkan tabu untuk dihadirkan dalam dialog. Ketika bertetangga tak lagi tunggal dalam identitas, sebenarnya yang tampak beda sudah dirayakan melalui interaksi
Warung Pak Muhdi dan Anak Tetangganya |
Pada malam yang hampir jadi pagi, saya sempat merayakan interaksi dengan Pak Muhdi. Ia adalah satu dari kerumunan penduduk pulau yang mengisi kesenjangan waktu di antara kesibukan melayani wisatawan. Laki-laki berumur kepala lima ini menjelaskan beberapa hal ketika ia sedang memancing. Dengan lilitan benang dan umpan berwarna terang, ia bersahabat untuk bercerita tentang keluarganya.
Ia merupakan pemilik warung kecil di pinggir pantai yang menghadap ke barat. Usahanya berjualan adalah sumber penghasilan utamanya. Menurutnya, memancing hanya mengisi waktu luang saja. Jika ada hasil dari hobinya itu, biasanya hanya untuk dikonsumsi bersama istri dan anak-anaknya.
Pulau Pramuka telah menghidupi Pak Muhdi. Kedua anaknya telah selesai bersekolah. Di Pulau Pramuka dan sekitarnya, pendidikan dasar bukan hal yang langka. Orang-orang bisa mendapatkannya hingga SMA. Setelah tamat SMA, mereka bisa bekerja untuk orang tuanya atau menjadi tenaga bantu a la kadarnya. Perguruan tinggi terlalu samar bahkan utopis.
Setiap Pelaut seperti Pak Muhdi mahir membaca bintang untuk kepentingan navigasi. Malam itu ia bercerita tentang jalur pelayaran dan tempat menangkap ikan. Walaupun saat ini cuaca dan musim punya kebiasaan di luar pola dan membentuk anomali, namun ia masih memahami pergantian pasang dan surut air laut.
Setelah malam semakin tua, Pak Muhdi pamit menuju ke rumahnya. Saya pun sudah mulai mengantuk. Sebelum tidur, baris-baris puisi Chairil Anwar, "Cintaku Jauh Di Pulau" lamat-lamat dieja imajinasi:
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Tapi kini Pak Muhdi sudah tidak melaut.