Mereka memberi sesaji untuk gunung yang menghidupi dan menurunkan dingin, juga tanah yang subur, udara sejuk yang memanjangkan umur, kabut yang menutup jalan dan membuat perkenalan antar desa.
Orang-orang dari jauh mendatangkan bunyi-bunyian dan pesta akhir minggu yang dinamai jazz gunung ; suara alat dan nyanyian pembebasan yang katanya egaliter, melampaui segala kasta bermusik dari seni tradisi hingga perkusi elektrik.
Saya melihat keduanya dan membuktikan apa yang pernah diceritakan dalam lagu anak-anak tentang deretan pohon cemara di kiri dan kanan jalan menjelang sampai ke puncak gunung.
Atau barangkali, saya tak bisa membedakan cemara dengan pinus, seperti perasaan yang tak bisa dibedakan antara senang dan sedih pada setiap belokan ketika meninggalkan desa Ngadisari.
Di Bromo, sebuah catatan tertinggal dan tak akan diambil lagi. Bahkan dengan kenangan.
bromo, probolinggo, jawa timur 8 juli 2012
bromo, probolinggo, jawa timur 8 juli 2012
bromo dan sesaji |
jazz gunung - merdunya gunung indahnya jazz |
entahlah... |
*memodivikasi judul roman karya Seno Gumira Ajidarma : Jazz, Parfum dan Insiden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar