15.2.14

Kembali Ke Mekarsari


Foto Keluarga - Relawan pengajar bersama para guru


Sebelas September, sebagian orang mengingat tragedi dunia melalu peristiwa di Amerika Serikat, namun 11 September 2013 di Tambun, ribuan kilometer jauhnya dari New York, anak-anak sekolah dasar yang berpakaian warna bendera sedang merayakan kebahagiaan. Mereka didatangi teman-teman baru yang merupakan relawan pengajar untuk membawa idiom yang tak ringan; inspirasi.

Hari itu, teman-teman baru mereka juga sedang berbahagia, memberi cerita tentang cita-cita, dongeng pekerjaan yang tak selamanya bisa dijelaskan. Di SD Negeri Mekarsari 2 Tambun, Bekasi, semua menyatu dalam suasana Kelas Inspirasi, kebahagiaan bertemu dengan kebahagiaan yang lain, suka cita yang diharapkan tak berumur pendek.

Teman baru mereka “memberikan” profesinya: pegawai bank, ahli geologi, pegawai pemerintahan, wartawan, dan yang lain. Menawarkan kausalitas jika-maka yang intim, “jika kalian belajar dengan sungguh-sungguh, maka kalian bisa menjadi apapun yang kalian mau, seperti kami, teman baru kalian.”

Tapi itu kemarin.

Hari ini, setelah kalender melewati batas tahun, anak-anak di Mekarsari masih merayakan kebahagian dengan cara biasa(nya). Mereka menjalankan yang terlanjur jadi rutin; pergi ke sekolah, berdoa sebelum belajar, bertemu guru dan mata pelajaran, istirahat sambil bermain, jajan di luar pagar, dan belajar lagi di dalam kelas, lalu pulang, formula yang tak habis-habisnya dilakukan oleh anak-anak di seluruh republik ini, anak-anak yang beruntung bertemu bangku sekolah.

Tambun adalah Karawang-Bekasi dalam makna geografis sekaligus puisi. Merasakan sekitar SDN Mekarsari 2 seperti sedang menyusun kembali apa yang pernah ditulis Chairil Anwar tentang kemerdekaan dan perintah. “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”

Kenyataan di Tambun adalah riuh gema pabrik yang diawali ketika pagi baru dimulai, ketika setiap orang menerjemahkan halaman-halaman "Das Kapital", kuasa modal yang membuat Karl Marx cemas, karena “di dalam pabrik, mesin menjaga manipulasi”

Sebagian anak-anak Mekarsari menjadi rapuh dalam hegemoni industri. Bu Jumitri, wali kelas VI bercerita, setiap tahun selalu ada yang tak kembali pada ruang kelas. Ada yang memilih menjadi kernet untuk membantu orang tuanya melawan keadaan, juga ada yang (akhirnya) mengambil profesi menjadi pengamen, demi hari yang harus dibeli.

Apakah satu-satunya yang dimiliki waktu adalah pilihan?

Sebelas September bisa jadi tak berarti apapun bahkan monumental. Bagi relawan pengajar, Kelas Inspirasi barangkali euforia yang telah hilang, tapi bagi anak-anak di Mekarsari, Kelas Inspirasi adalah ingatan yang tak berhenti begitu saja. Karena mereka tak pernah tahu kemana setelah bel pulang sekolah.


Kak Alia sedang mengajar di Kelas I ketika Hari Inspirasi