24.5.13

Rinjani

Di permukaan bumi ini, ketinggian diukur dari tempat yang memiliki kedalaman yang jauh, puncak gunung memiliki satuan meter dari permukaan laut, kedua tempat itu menjauh, juga mendekat pada manusia yang ingin membacanya.

3726 mdpl, angka pada peta untuk menandai puncak Rinjani, barangkali angka yang terus berubah karena relativitas yang nisbi menjauhi pusat bumi, dan angka-angka tak selamanya diam dalam buku catatan. Rinjani kini telah dewasa dan meninggalkan keturunan.


Rinjani dilihat dari Tanjung Ringgit. Tentang gunung yang dilihat dari tepi pantai


Pada sebuah pagi di Sembalun Lawang, matahari selamat datang telah merentang bayangan untuk melihat bentang alam dari tempat nun jauh berada di ujung sana. Saya hanya bisa membayangkan keletihan dan tugas berat menapak jalan. Namun, apapun yang masih berada dalam pikiran, semua akan dibuktikan oleh kenyataan. Perjalanan harus segera dimulai, sebelum malam begitu dekat.

Beberapa kilometer pertama, kaki-kaki pendaki masih menapak aspal dengan bangunan khas pabrik yang memanjang, saya hanya bisa menerka, bangunan itu adalah pelindung untuk tumbuhan pertanian yang masif. Tapi jalan beraspal yang saya injak sudah cukup memberi perkenalan, jalan yang menggali pesan, bahwa akan ada tanah yang panjang.

Pos 1 dan Arif yang mengeja keletihan


Setelah itu, perjalanan ditempuh dengan melintasi dataran padang rumput yang luas, tumbuhan perdu liar yang tak terlalu tinggi itu, memanjakan mata untuk melihat ke arah saujana yang tak berhingga jauhnya. Keletihan tak boleh berlanjut karena pemandangan yang indah tak boleh diimbangi dengan mengeluh.

Setiap perjalanan ke arah puncak gunung, selalu ditandai dengan tempat singgah yang biasa disebut pos, tempat yang menganjurkan beristirahat. Pos 1 kaki Rinjani berada di tengah sabana yang mengasyikkan, dengan duduk diam beristirahat. Setelah itu bertemu pos 2, tempat para pendaki memulai makna konsumsi. Makan siang yang akan terhidang dari ‘chef’ yang sebenarnya adalah porter pembawa beban.

Di dalam catatan saya, waktu tempuh dari pos 1 menuju pos 2 adalah 50 menit dan melintas padang rumput dengan kondisi jalan yang landai. Pada pos 2, saya beristirahat satu jam. Dua jam kemudian, tibalah di pos 3. Seperti sebuah revolusi, keadaan berubah begitu mulai mengedipkan mata. 

Dari pos ini, takkan ada lagi jalan landai dan memanjakan. Di depan sana hanya ada tanjakan yang bahkan kadang curam, kemiringan hanya bisa diduga-duga telah mencapai 45 derajat, juga akan ada bukit penyesalan yang barangkali menyimpan penyesalan telah berada di punggungan gunung yang tak menganjurkan mencari suaka.

Lalu perjalanan dilanjutkan dengan hujan yang dari tadi menunggu jatuh. Ia tak punya alibi untuk berhenti atau datang silih berganti dengan kabut dan awan-awan berwarna gelap yang tak sigap menampung air di atas sana. Tetapi, Rinjani memang harus dinikmati tanpa henti. Hujan cuma air yang melintas penutup tubuh.

Vegetasi kecil berganti jadi pepohonan yang tegak dengan ranting-ranting yang rapuh. Selain bertumpu pada akar yang menahan tanah untuk menapak tangga menuju tempat yang lebih tinggi, saya menemui beberapa batuan beku sisa letusan yang terjadi entah berapa ratus tahun silam, batuan yang menyimpan sejarahnya sendiri.

Untuk mencapai tempat yang lebih datar, luas dan menemukan pandang pada puncak gunung, saya mencatat telah menghabiskan waktu empat jam dari pos 3, tentu dengan jam istirahat yang lebih lama dan detak jantung yang cepat tanpa pola.

Menembus padang rumput

Berisitrahat di pos 2 selagi menunggu makan siang dihidangkan


Sore akan berakhir di Plawangan Sembalun dan saya tak menemukan apa yang disebut senja dan matahari tenggelam. Yang saya tahu, ada tenda yang sudah menunggu, dan saya mengakhiri ingatan pada tempat yang telah disiapkan para porter -orang-orang gunung yang menyimpan cerita persahabatan.

Dalam malam yang telah jadi malam, saya membaca dalam hati puisi Goenawan Mohamad :

“Dingin tak tercatat pada termometer.
Kota hanya basah.
Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja disana.
Seakan gerimis raib dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”

Begitulah, saya tak hendak jadi melankolis, tapi di tepi Segara Anak yang masih mengirim sinyal pada telepon genggam, ada kenangan dan hal-hal yang tak semuanya bisa dituliskan.

Cawang, Mei 2013           




Pos 3 dan seorang porter yang menunggu keputusan untuk melanjutkan perjalanan

Beberapa meter menuju plawangan.

Segara anak dan pohon edelweis