24.7.12

Katanya

Sampai sekarang ia masih belum mengerti makna kalimat : Pada mulanya adalah kata. Ia yakin, selalu saja ada niat sebelum kata bermula, bahkan rencana yang diam-diam untuk membuat kata yang barangkali berubah menjadi pertanyaan. Seandainya ia diberi kuasa untuk mengubah kalimat yang membingungkan itu agar maknanya bisa dipahami, maka akan ia buat menjadi : Pada mulanya adalah katanya.


Hari itu, dengan keinginan yang kusut dan tak bisa dirunut, ia membuat perjalanan ke arah timur. Tujuannya hanya untuk memindahkan lamunan dari dalam kamar sempitnya ke tepi jendela kereta atau sekedar bicara dengan orang yang baru ditemuinya dan berbincang tentang apa saja. Tak jarang dalam perbincangan selalu ada katanya. Ia memilih pergi ke dataran tinggi Bromo, tempat yang ia yakini masih banyak katanya yang disimpan oleh orang-orang Tengger. Baginya gunung adalah rahasia yang selamanya, seperti dingin yang tak pernah terukur pasti oleh kulit penduduk yang berada di kaki bukit.

Katanya pada awal musim kemarau ini, suhu di Bromo bisa mencapai minus empat derajat celcius. Informasi itu ia dapat dari pemilik penginapan yang memberi jasa baiknya. Sebenarnya, tempatnya menginap adalah rumah penduduk yang beralih fungsi menjadi hotel untuk tamu dan orang-orang dari kota yang bermodal pas-pasan seperti dirinya.

Kabar lain dari pemilik penginapan adalah dalam dua hari ke depan akan ada pesta panen di desa tetangga. Setiap orang merayakan kegembiraan sebagai pujian untuk bumi atas keberhasilan panen yang melimpah tahun ini dengan menyewa tayub; tradisi bernyanyi dan menari bersama dengan lantunan musik yang tak selamanya keras dan mengejutkan. Untuknya, Bromo akan selalu menjadi klasik jika terus menerus yang diceritakan adalah keindahan matahari terbit, melihat kabut dari atas yang menggantung seperti awan, juga cerita jeep melintasi medan berat yang tertatih, dan setiap orang memiliki bingkai yang sama.

Ia berpikir ini adalah kesempatan untuk melihat kesenian tradisional dengan segala tingkah laku dan kebiasaan masyarakat yang larut dalam suka cita. Tapi ia meyakini diri, bahwa tak boleh ada pandangan orang asing kepada pribumi, karena ia bukan penjajah.

Pada malam pertama di pesta tayub, setiap orang merasakan kegembiraan yang beragam. Pemuda kampung menikmati setiap tetes minuman hangat bersama dengan setiap pukulan kendang yang kadang menghentak. Pria-pria berisitri mempersiapkan uang sawer dan larut dalam tarian wanita-wanita pengisi pertunjukan yang penuh solek warna warni. Dan ibu-ibu selalu berjarak dari panggung melihat suaminya yang mabuk.

Di malam itu juga, ia melihat perempuan yang lebih menarik perhatiannya ketimbang riuh tayub yang sedang mendengung. Ia tiba-tiba begitu yakin, kalau perempuan itu juga berasal dari jauh. Lalu dengan keyakinan yang bisa saja tidak tepat, ia berniat memberi senyum ketika saling menatap dan mencoba membuka perkenalan yang entah pada papasan yang keberapa. Beberapa usaha memang harus dicoba untuk menghilangkan penasaran agar tidak berlebih. Atau setidaknya, tujuan perjalanan kali ini dianggap berhasil. Untuk keadaan ini ia selalu bertanya, kenapa begitu cepat teralihkan perhatiannya dengan seorang perempuan yang bisa ia temui setiap saat di kota tempat tinggalnya. Tapi ia teringat katanya yang lain. Katanya cuma perempuan hebat yang bisa mencuri perhatian, dan pencurian adalah kejahatan yang tak memerlukan ancang-ancang.

“hai”

“hai juga”

Selanjutnya hanya ada senyum yang dibalas dengan senyum.

...

Hari berikutnya, ia begitu bersemangat menonton tayub. Kali ini ia melupakan katanya yang akan ia kumpulkan menjadi tafsir mitos sebagai buah tangan dari masyarakat Tengger. Ia hanya membawa harapan melanjutkan pertemuan yang begitu singkat kemarin malam. Matanya mulai memperhatikan setiap titik yang berada di sekitar panggung di deretan penonton. Ia akhirnya menemui perempuan itu, mengisi tempat disampingnya dan mulai mengumpulkan jawaban. Dari usahanya itu, ia mulai sedikit memahami mengapa perempuan itu berada di Bromo. Pertemuan itu dilanjutkan dengan obrolan warung kopi dan perempuan itu membuka dialog.
“Kamu percaya cinta?”

“hmm..”

“Kok hmm?”

“Ya hmm..”

perbincangan itu tidak lebih dari pertukaran tanya-jawab yang sedikit aneh.

“Cinta itu seperti barang pecah belah, tapi kamu tidak harus membelinya walau sudah dipecahkan.”

Ia hanya berfikir, di ketinggian yang jauh dari permukaan laut, setiap orang akan beradaptasi dengan caranya masing-masing, salah satunya mungkin dengan meracau sebanyak mungkin.

Katanya, perempuan itu hanya ingin menangkan diri dari masalah perasaan yang terlalu serius hingga nanti harus memutuskan untuk tidak membuat hubungan yang terlalu serius pula dengan seorang laki-laki. Ia heran, begitu terbukanya seorang perempuan yang sedang sedih hingga harus memberi alasan yang sentimental untuk ia yang baru dikenalnya tadi malam.

Akhirnya mereka berpisah dan kembali ke penginapan masing-masing. Sesampainya di penginapan, ia menemani pemilik penginapan yang sedang menghangatkan diri di dekat tungku dapur. Katanya, jika telah keluar rumah dan mau tidur, kita harus menghangatkan diri agar semua makhluk jahat dari luar tertinggal dan tidak ikut tertidur bersama.

Begitulah katanya yang terjaga, berinduk dan beranak pinak, hingga sulit dirunut susunan genetisnya.


Pejaten, malam puasa ke-lima 2012