31.10.13

Kematian Indra

Bioskop semakin gelap


Sore itu di Sisilia, ada kabar yang harus disampaikan seorang ibu yang sedang cemas untuk Salvatore De Vita, anaknya yang berada di ujung telepon yang hampa. Sebuah kabar kematian. Janda itu sadar, kabar ini akan membuat anaknya terpaku tentang yang karib, tentang sebuah nama pada masa kecilnya.

Alfredo telah mangkat meninggalkan sejarah dan garis-garis pada seluloid. Garis-garis yang berkelindan dengan masa lalu mereka, yang pernah menganggap bioskop adalah “surga”. Jika film adalah puisi, maka penggalan cerita “Cinema Paradiso” ini adalah bait kecil, tentang gedung yang menyimpan bathin. Tentang Alfredo yang kini kesepian.

Alfredo adalah seorang proyeksionis bioskop yang mencintai pekerjaannya melampaui penglihatannya, sama seperti Djamsuki di bioskop Indra, Yogyakarta. Mereka telah kehilangan pekerjaannya untuk merangkai gambar gerak pada proyektor dan menghentikan sihirnya untuk penonton yang pernah terhibur pada ruangan gelap itu. 

Kini gedung bioskop dianggap seperti sampah, tanah tempat berdirinya akan dimanfaatkan untuk kepentingan lain, kebutuhan lain. Kota membutuhkan lahan parkir yang luas untuk Malioboro yang tak pernah tidur, dan Indra yang berlokasi di dekat sana, harus mengalah dan membunuh kisah-kisahnya. 

Tiket terakhir


Dalam hasil penelusuran, nama Indra merupakan akronim dari Indonesia Raya, frase nasionalisme yang tak sekedar jargon negara yang baru bebas dari imprealisme. Barangkali nama itu telah menunjukkan bahwa warga negara memang membutuhkan gedung bioskop yang menghidupi siapa saja. 

Namun, zaman bergerak, pelan atau cepat, teknologi membuat siapa saja mendapatkan hiburan yang “dekat”; televisi dan pemutar cakram digital. Secara personal, hiburan sudah begitu intim tanpa harus berjalan ke luar rumah mencari bioskop. Hal-hal tadi membuat Indra tak mampu bertahan hidup karena penonton telah menemukan formula menghibur diri. Juga, Indra tak mampu berbenah diri dibanding grup 21 yang lebih mapan, lebih menguasai pasar dan distribusi film karena modal yang mapan pula. 

Foto-foto yang saya coba rangkai ini adalah catatan kunjungan saya yang hampir lampau, Oktober 2010. Inisiatif memunculkan yang lalu, setelah kini terdengar kabar, Bioskop Indra akan rata dengan tanah. Foto-foto ini tentu saja tak pernah sejajar dengan kenangan orang-orang yang pernah menyaksikan Ben Hur dan Janur Kuning dalam bioskop itu.

Dokumentasi yang membawa harapan untuk Pak Djamsuki dan teman-temannya yang menguatkan sebuah tesis Romo Mangun, bahwa bangunan itu benda mati yang memiliki jiwa. 

Sudah tutup