17.4.14

Maryam

Yoni yang berarti rahim, pada komplek candi Hindu merupakan bagian bangunan suci dan ditempatkan pada bagian tengah ruangan

Maryam mengandung tanpa persetubuhan. Perempuan suci itu cemas dan berharap pada kekuatan Tuhan untuk mencair di tengah masyarakat yang konservatif. Dalam kitab suci yang menjelaskan perkembangan janin itu, Maryan melahirkan Isa melalui rahasia.

Di malam yang pucat itu, pertemuannya dengan Jibril tak sempat menyimpulkan banyak hal. Ia sedang sakit dan berjalan ke timur menjauhi keramaian yang barangkali akan membuat pengadilan sosial untuk seorang ibu hamil tanpa pembuahan.

Pesan Jibril untuk Maryam juga terlalu sederhana : “Janganlah kamu bersedih hati..” Kabar dari Tuhan yang akhirnya membuat perempuan itu menjadi pendiam di antara pohon kurma dan anak sungai yang mengalir di bawahnya.

Kisah Maryam ini terangkum dalam satu surat yang tak semuanya membahas tentang kehamilan, di dalamnya ada kisah Zakaria yang akhirnya diberikan keturunan setelah berpuluh tahun tak mempunyai anak hingga ia merasa tua. Sesuatu yang tersirat di ayat itu: tak ada doa yang sia-sia.

Dari 98 ayat yang dinamai Maryam itu, kehamilan jadi istimewa karena disekitar peristiwa persalinan Isa yang janggal sesungguhnya ada cerita kehidupan yang sedang dikokohkan.

Namun jika kehamilan adalah peristiwa yang pasti terjadi bahkan berulang, adakah yang istimewa?

Ketika Tuhan meninggikan waktu, Ia barangkali setengah mengutuk. Tahun yang berjalan pada deret hitung menjadi abad dan meninggalkan jejak peradaban yang selalu saja beriringan dengan masalah sosial yang tak hilang begitu saja ditelan masa yang “disumpahi”Nya. Bahkan pada peradaban media sosial saat ini.

Dinda, seorang perempuan yang lahir dari rahim arus informasi boleh saja dikatakan sedang malas berbagi pada ibu hamil di dalam kereta komuter yang waktu itu ia naiki. Alasannya tidak rumit, ia sudah berangkat sepagi mungkin, dan “memperjuangkan” kursi yang ia kuasai sampai stasiun tujuan. Mungkin kejadian ini terlampau biasa dan tak akan membesar. Namun apadaya, ia terlanjur membagi ceritanya dan lupa “membagi” kursinya.

Saya percaya di dekat Dinda yang sedang menuturkan kekesalannya di media sosial, ada tanda gambar ibu hamil di sana, di deret kursi pendek dekat pintu, semiotika yang tak butuh banyak penjelasan makna.

Kereta telah jadi kebutuhan wajib penduduk di kota satelit. Mereka adalah petarung gigih yang memperjuangkan waktu, yang pada sumpah Tuhan adalah orang-orang yang merugi, tentu jika kalimatNya kita penggal sampai sini.

Dengan berbekal harapan di pagi hari dan membawa lelah untuk rumah ketika sore, penduduk kota satelit kadang dihadapkan pada sepenggal idiom Sarte bahwa “neraka adalah orang lain”, yang sampai saat ini tak saya pahami maknanya.

Kehamilan memang keadaan yang begitu wajar dan terlalu biasa, sebuah peristiwa pasca pembuahan yang alami, bahkan ketika janin membesar dan ditiupkan ruh untuknya, peristiwa ini akan tampak sederhana. Yang membuatnya istimewa karena dalam kandungan sang ibu, bayi itu tak sendiri. Ia bersama harapan pembentuk kehidupan, dan karena harapan begitu riskan menjadi kekecewaan, maka secara alami pula sang bayi yang tak bisa apa-apa dalam rahim ibunya itu berhak mendapat keisitimewaan.
...
Maryam dan Dinda terpisah kisah dan sejarah. Maryam berada pada kutub si hamil penyendiri yang awalnya begitu otonom memanggul pesan Tuhan di tengah kaum yang gelap, sementara Dinda berada dalam yang memandang kehamilan adalah hal yang wajar tanpa harus di beri ruang. Dan keduanya disatukan oleh kesamaan: masyarakat yang menghakimi.

Dalam tulisan ini, saya ikut menghakiminya.