13.8.12

Mereka yang Menghidupi Kematian

Bangunan merah itu menaungi sebuah pasarehan. Di dalamnya ada tiga makam dengan nisan yang selalu tertutup kain.
Di salah satu nisan, Siti Jenar sedang menjalankan kehidupannya.

Dalam sebuah kisah yang tak perlu dibuktikan kebenarannya, Siti Jenar pernah didatangi beberapa orang yang hendak membunuhnya dengan bermacam alasan. Pertemuan itu membuat dialog yang barangkali tegang dengan tarikan keyakinan, orang-orang mencari dan bertanya dimana syekh yang sudah meresahkan itu. Lalu dengan keyakinan, Sang Syekh hanya menjawab : 

"Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Gusti Allah".

Ada banyak kisah yang menjadi legenda lalu dikenang oleh sejarah atau hanya dongeng yang tak pernah disampaikan sebelum tidur tentang dia yang terlanjur bersebrangan paham dengan para pengemban amanat penyebar agama langit di daerah pesisir utara Jawa. Bisa dibayangkan, seorang sufi pengingat kematian dan pendakwah keintiman hubungan diri dengan tuhannya harus menghadapi hegemoni kekuasaan kerajaan dan kaum konservatif yang terlebih dahulu menjadi dominan untuk perluasan agama melalui cara tradisional dan politik kesultanan yang oligarki. Ajaran dan keyakinan Siti Jenar mungkin terlalu rumit dan sangat kompleks untuk dipaparkan sekaligus diterima masyarakat yang hidup pada abad ke 15 di Jawa. Bahkan sampai hari ini, idiom tentang "manunggaling-kawula gusti, warongko manjing curigo" tak pernah punya kedekatan penfsiran.

Dengan tidak berniat menafsirkan ajarannya, saya hanya berkeinginan untuk membuat tautan literatur yang sedikit saya miliki dengan kenyataan yang saya temui di Tempat Pemakaman Umum Kemlaten, tempat Siti Jenar merebahkan diri dalam pesarehan.

Sore itu, di antara kumpulan batu-batu bernama dan berangka tahun, terdapat sebuah bangunan berwarna merah muram dengan jaring-jaring kawat ventilasi yang melingkari pendapa ruang depan. Jika berusaha memperhatikannya dari luar, di pendapa itu hanya ada tulisan " Pasarean Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang)" dengan tulisan putih dan latar hitam, sebuah jam dinding dengan jarum yang bergerak dan silsilah yang tak saya baca dengan cermat. Dan jika memperhatikan letak, ruangan itu seperti sedang menjadi imam untuk makam yang lain.

Saya bertemu dua orang yang rela membeikan ceritanya tentang Siti Jenar dan tujuannya berziarah. Mereka mencair dalam pandangan dan keyakinan terhadap apa yang telah ditinggalkan Syekh Lemah Abang sekaligus membatu untuk tetap mengunjungi makam sunyi seorang pendakwah. Dan barangkali kesetiaan mereka menyapa pasarehan itu lebih dekat dari urat nadi seperti ajaran yang selalu berdengung, bahwa kehidupan sebenarnya ada setelah kematian, atau seperti kata-kata dalam mitos itu, bahwa Siti Jenar memang tidak ada.

Pak Nendi (58) adalah seorang kemit atau penjaga makam yang merupakan penduduk setempat.
Dari ceritanya, dia menyadari sunyi pada makam jika dibandingkan dengan makam wali yang lain adalah takdir.
Dan menurutnya, ziarah memang tak boleh dirayakan berlebihan.  


Pak Sumantri (59) adalah satu-satunya peziarah di hari itu (23 Ramadhan 1433 H) berasal dari Kudus.
Sore itu dia tidak berniat berziarah selain mengunjungi temannya yang berada di dekat makam.