3.1.14

Jogja Berhenti Nyaman, Katanya Begitu..



Di penghujung tahun 1980-an warga kota rindu Adipura, piala dari penguasa negara untuk kebersihan dan ketertiban yang dijaga, atau setidaknya tanda daerah menjaga hubungan baik dengan Jakarta. Untuk menghilangkan rindu itu, dimulailah slogan “Jogja Berhati Nyaman”

Begitulah awal tulisan Bagus Kurniawan, pewarta foto detik.com dalam pengantar katalog pameran foto Jogja Berhenti Nyaman yang diselenggarakan Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta di Bentara Budaya, 26 – 30 Desember 2013 lalu, ketika pada akhir tahun orang-orang memilih melihat kembali hal-hal yang baik, para pewarta foto memilih melihat kota yang sedang bersedih.

Judul pameran adalah “plesetan” dari yang telah sahih. Masyarakat Jogja telah terbiasa me-modivikasi dan membuat re-kreasi idiom dan kata-kata untuk membuat lelucon, karena dari lelucon akan terjadi perbincangan yang tak kaku dan mengeras, lalu Jogja akan dinikmati dengan cara tertawa.  

Terhanyut aku akan nostalgia.

Sekarang bagaimana orang-orang bisa tertawa setelah kasus penembakan di Lapas Cebongan oleh militer bersenjata? Bagaimana bisa ceria berkendara ketika antre pada lampu pengatur lalu lintas semakin panjang? Bagaimana mengingat-ingat kejadian di cagar budaya yang hilang dan terkepung gedung besar? Dan bagaimana-bagaimana lain yang sudah menjadi bagai, sebentuk pengandaian dalam pesimis yang terselubung.

Sebuah tempat yang telah dikultus waktu menjadi kota pasti akan berubah dan berkembang, banyak teori yang melahirkan kesimpulan itu. Saya teringat jargon Dagadu –produk lokal Jogja yang terkenal, di akhir tahun 2000-an; “Kapan ke Jogja lagi? Tugu sudah gede lo sekarang, kalau ketemu pasti pangling”

Dagadu tak hendak membuat lelucon dari jargon itu, tetapi sedang menawarkan ramalan dan angan-angan yang tak sepenuhnya indah. Jika sempat berhenti di Tugu, perhatikanlah perempatan yang sudah terkepung barisan gedung tinggi yang katanya untuk kepentingan pariwisata. Tugu Jogja yang menjadi “land mark” kota budaya semakin kini semakin mengerdil dan terus jadi pendek.

Di persimpangan langkahku terhenti.

Macet Total - Bramastyo Adhy, Tribun Jogja


Gantung Tugu - Novan Jemmi Andrea, Koran Sindo

Kembali ke ruang pameran. Di depan foto Desi Suryanto, pewarta foto Harian Jogja, saya juga berhenti dan terdiam. Jogja tak hanya perubahan suasana, tapi perang perebutan kuasa visual. Di Jembatan Kewek -beberapa meter dari Malioboro yang merupakan penanda masa lalu, setiap orang berebut minta diperhatikan, atas nama polusi visual, publikasi komersil produk tak boleh ada, namun mereka yang tak senang menghantam dengan visual yang juga lebih buruk. 

Pada rangkaian serial foto “Robohnya Sekolah Kami” saya membuat pandangan sunyi seperti seorang garin yang hampir mati dalam Robohnya Surau Kami ciptaan AA Navis. Betapa menyedihkan ketika bangunan sekolah harus kalah dari kekuasaan modal dan angkuhnya hasrat memiliki. Mereka yang sedang bersekolah atau yang telah menjadi alumni di SMA dan SMP “17” 1 itu akan mengekalkan masa-masa indah yang jadi pahit ketika memulai cerita; disini itu dulu… Barangkali juga para Tentara Pelajar dan orang-orang Boedi Oetomo yang merancang kemerdekaan republik ini akan jadi muram dari dalam kematiannya karena tak ada lagi bangunan sejarah itu.

Reresik Sampah - Desi Suryanto, Harian Jogja


Dari Serial Foto "Robohnya Sekolah Kami"

Foto-foto yang dipasang di dinding Bentara Budaya waktu itu adalah gambar(an) paling jujur dari Jogja masa kini, atau lebih apa adanya dibandingkan brosur dari biro perjalanan yang berisi candi prambanan dan borobudur yang puluhan kilometer jauhnya dari batas kota Jogja.

Keluar ruang pamer, saya hanya mencoba menerka dan berteori tentang kota, ia menjadi jahat ketika menghilangkan romansa dan kenangan tanpa sisa.

Ah Jogja, berubahlah. Tapi jangan sampai saya merintih sendiri ditelan deru kotamu.