17.4.12

dalam perjalanan ke (ujung) kulon

:: Stasiun Tanah Abang, jam delapan kurang beberapa menit.

Jakarta terbangun dengan peluit kereta dan pengeras suara dari stasiun. Dia terbangun agak telat, maklumlah, hari Sabtu adalah hari libur untuk kota yang patuh dengan jam kerja. Kereta patas ekonomi tujuan Merak siap mengantarkan orang-orang yang hendak pergi ke arah barat, Rangkasbitung hingga Cilegon. Saya menerima kereta yang datang untuk berniat turun di stasiun Serang, Banten dan memulai perjalanan sederhana ke Desa Taman Jaya Kabupaten Pandeglang.

Kereta menyediakan jual beli, transaksi sesemupurna pasar, selengkap toko serba ada. Penumpang menyatu dengan perbincangan yang diam, setiap orang adalah orang asing untuk lainnya. Waktu tak sempat bertukar nama dan bertanya tempat singgah. Dan pedagang-pedagang mencair dengan ajakan untuk mencoba bertanya harga, teriakan berbisik yang merayu.

Empat ribu rupiah untuk kereta Jakarta sampai Serang, selebihnya adalah harga air mineral dan tahu sumedang.



:: Stasiun Serang, jam sebelas lebih beberapa menit.

Peron berhenti bergetar, kaki-kaki menjejak dalam kedatangan. Stasiun kecil bergaya abad delapan belas memberi salam selamat siang. Sejarah hanya kemungkinan yang mencatat seorang Deandles yang pernah singgah ke kota ini untuk membuka jalan dan memulai rencana. Saya memulai napak tilas pada stasiun kecil ini. 

:: Terminal serang, jam dua belas lebih beberapa menit.

Adakah orang lain yang dijumpai di terminal untuk pertama kali selain penawar jasa angkutan antar kota dan kondektur angkutan umum? Kita hanya pasrah menerima. Mereka telah menguasai semua kabar untuk orang baru selama bertahun tahun, pendatang hanya diberi kesempatan beberapa detik untuk memutuskan tujuan selanjutnya. Tawar menawar hanya alat tukar untuk mengenal bahasa.

Jarak tak pernah pasti, yang pasti hanya harga untuk lima jam minibus berjalan dari terminal Serang hingga Kecamatan Sumur adalah tiga puluh lima ribu. Angka yang baru saya dapat ketika sampai di Panimbang, tiga jam perjalanan dari terminal.



Selama lima jam, jendela menjadi bingkai yang memberi pemandangan secara acak, padi yang mencoba menyentuh tanah, perempuan-perempuan belia berkerudung pulang sekolah, kota kecamatan yang ramai diantara rumah-rumah sepi ditinggal berladang, hingga beberapa sungai yang bertemu laut, seperti anak kecil yang selalu menggandeng tangan ibunya.

:: Kecamatan Sumur, jam lima lebih beberapa menit

Kedatangan telah disambut oleh tukang ojek, lengkap dengan informasi jarak antar desa dan waktu tempuh hingga penginapan. Tidak ada lagi pertanyaan tentang apapun, karena jawaban harus dibuktikan dengan kenyataan, tentang jalan berbatu dan berdebu, pinggir pantai dengan air pasang yang menelan matahari, dan nominal lima puluh ribu untuk ucapan terima kasih kepada nyali dan bahan bakar.



Satu jam kemudian, tibalah di penginapan.

Hari sudah gelap, azan magrib telah selesai beberapa menit yang lewat. Rahasia menguap, kenangan cuma remah roti yang disebar oleh Hansel dan Gretel. Cerita selanjutnya hanya ada dalam ingatan.

Suatu sore di Ujung Kulon.