30.4.12

di tepi Kahayan



Kahayan begitu tenang sore itu. Orang-orang sepanjang sungai menikmati air yang mengalirkan kehidupan untuk mereka. Memang sungai tak pernah bening, warna nya yang pucat adalah garis-garis takdir Palangkaraya. Namun setiap tetesnya telah membentuk sejarah Groote Daijak-river. Peradaban telah dimulai dari waktu yang jauh, sejauh bentangan hulu hingga muara.

Anak-anak membangun cerita dari atas kapal dan orang tua mereka menaruh harap pada alur sungai ketika musim tak lagi pasti. 

Kehidupan sungai di Kalimantan bukan sesuatu yang asing, dengan sungai mereka bisa membuat batas tentang tata budaya dan bahasa, pembagian wilayah kerja, juga jalur kekerabatan yang unik.

Dari kahayan, saya memungut puisi Suyitno BT, seniman penggiat Teater di Kalimanatan Tengah :


Riak Kahayan

menatap riak air kahayan yang perlahan
menguap nasib dikungkung pasrah
usaha penebangan kayu ditutup
tak mengapa

kami masih bisa hidup
mendekam dalam kepasrahan
kami masih bisa tertawa
meredam kelam kemarahan

menatap riak air kahayan yang perlahan
tampak pantulan kesahajaan
penduduk yang mandi di pinggiran
berkecipak mesra dengan air
sampansampan yang disandarkan
harapan tertunda
tergantung di tandantandan rambai
musim ini


bukit rawi, 27 pebruari 2002

dari buku Rambang: Dua Sosok Empat Lukisan. Sekumpulan Puisi (2011)


termenung di depan pintu


memperbaiki perahu



menimba air
menggosok gigi