31.8.14

Theodore

Satu hal yang menarik dari sebuah kesepian adalah pemahaman tentang kesepian itu sendiri. Memahami bentuk diam yang tak berwujud namun nyata dirasakan. Tetapi kesepian berbeda dengan kesunyian. Perbedaan itu tak pernah punya pengertian yang sahih. Setiap orang boleh mendapat penjelasan secara pribadi, karena seperti yang Chairil Anwar katakan bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing.
Sepi dan sunyi bisa menjadi tempat bermula untuk bercerita. Theodore mengalami keduanya begitu dalam, sepi yang jadi sunyi telah berulang dengan sempurna.
Pada ruangan berwarna pastel, Theodore memperlihatkan pekerjaannya sebagai pembuat surat pesanan yang akan dikirimkan untuk seseorang yang tak pernah ia kenal –ia juga tak akrab dengan pemesannya. Theodore menjadi pengarang yang mahir. Ia kesepian sehingga dapat menguasai kata-kata. Theodore hanya perlu berbincang dengan komputer di depannya, lalu mesin itu akan mencatat ucapannya kemudian jadilah sebuah surat.
Tapi Theodore tak selamanya melindungi psikisnya dari riuh di luar diri. Dalam sebuah kesempatan, ia membuat hubungan asmara yang intim dengan sebuah sistem operasi berjenis kelamin perempuan bernama Samantha. Ya, sebuah sistem operasi komputer yang sangat cerdas secara sintesis.
Begitulah awal cerita “Her”, film ciptaan Spike Jonze itu berhasil menjaga sepi agar tetap sepi. Theodore mengukuhkan kesepian lewat perbincangannya dengan sesuatu yang berbentuk algoritma.
Seperti Theodore yang selalu menceritakan apa saja dengan Samantha, orang-orang menjadi pencerita yang terbuka pada masa ketika komputer dan internet menjadi kebutuhan sosial yang wajib. Media sosial adalah katarsis yang dianggap bijak untuk mengungkapkan apa yang terjadi hari ini.
Florence, perempuan yang merupakan bagian dari kerumunan media sosial hari ini pun melakukan hal yang biasa dilakukan oleh lain yaitu bercerita. Namun tidak seperti Theodore, Florence mengawali ceritanya dengan kekesalan yang jamak, tentang kelangkaan bahan bakar yang membuatnya mengantri lalu mengubah antrian itu menjadi sebuah tragedi. Dari sebuah SPBU di Jogja, ia mengutuk kota dan penyelenggara negara. Ia hanya bercerita melalui media sosial.
Jika kita mau menjauhi diri dari bentuk benar dan salah, maka kita akan pelan-pelan memahami cerita Florence. Siang itu tak gampang memperoleh premium karena antrian begitu panjang, ia memilih bahan bakar lain yang tak bersubsidi dengan anggapan barisan pengantri lebih sedikit karena harga yang lebih mahal. Namun ia keliru, pada antrian panjang yang ia tinggalkan ternyata menyimpan kekesalan secara kolektif. Kecemburuan menyisakan amarah pengantri yang tertib. Ketika tiba pada gilirannya untuk menerima bahan bakar, ia tak hanya berhadapan dengan petugas pengisi, melainkan akumulasi kekecewaan orang-orang di SPBU, meskipun menurut penuturannya, ia telah begitu santun memperoleh gilirannya dalam antrian.
Florence kecewa karena tidak mendapatkan apapun di sana. Ia membalas amarah orang-orang dengan amarah yang lain melalui media sosial, lalu orang-orang membalasnya kembali, dan seterusnya, dan seterusnya. Dalam dunia maya yang jauh dari tatap mata, perang mulut dan adu pendapat menjadi hidup karena setiap orang berteriak dari dalam persembunyian.
Namun adakah yang janggal dari cerita tentang kekecewaan?
Kini Florence telah meminta maaf. Mahasiswi itu mengerti ada konflik yang harus diakhiri, ada amarah yang harus berhenti. Setiap orang yang membuka diri untuk bercerita di media sosial memang harus mengimbanginya dengan membuka hati. Florence tak hanya membawa motor kecilnya ke tempat pengisian bahan bakar. Barangkali ia juga membawa kekecewaan yang lain atau malah sebentuk kesepian seperti milik Theodore, tapi yang ini belum begitu pasti.
Yang pasti ia kecewa dengan negaranya.