Di permukaan bumi ini, ketinggian diukur dari tempat yang
memiliki kedalaman yang jauh, puncak gunung memiliki satuan meter dari
permukaan laut, kedua tempat itu menjauh, juga mendekat pada manusia yang ingin
membacanya.
3726 mdpl, angka pada peta untuk menandai puncak Rinjani,
barangkali angka yang terus berubah karena relativitas yang nisbi menjauhi
pusat bumi, dan angka-angka tak selamanya diam dalam buku catatan. Rinjani kini
telah dewasa dan meninggalkan keturunan.
…
Rinjani dilihat dari Tanjung Ringgit. Tentang gunung yang dilihat dari tepi pantai |
Pada sebuah pagi di Sembalun Lawang, matahari selamat datang
telah merentang bayangan untuk melihat bentang alam dari tempat nun jauh
berada di ujung sana. Saya hanya bisa membayangkan keletihan dan tugas berat menapak jalan.
Namun, apapun yang masih berada dalam pikiran, semua akan dibuktikan oleh kenyataan.
Perjalanan harus segera dimulai, sebelum malam begitu dekat.
Beberapa kilometer pertama, kaki-kaki pendaki masih menapak
aspal dengan bangunan khas pabrik yang memanjang, saya hanya bisa menerka,
bangunan itu adalah pelindung untuk tumbuhan pertanian yang masif. Tapi jalan beraspal
yang saya injak sudah cukup memberi perkenalan, jalan yang menggali pesan, bahwa akan ada tanah yang panjang.
Pos 1 dan Arif yang mengeja keletihan |
Setelah itu, perjalanan ditempuh dengan melintasi dataran
padang rumput yang luas, tumbuhan perdu liar yang tak terlalu tinggi itu, memanjakan
mata untuk melihat ke arah saujana yang tak berhingga jauhnya. Keletihan tak
boleh berlanjut karena pemandangan yang indah tak boleh diimbangi dengan
mengeluh.
Setiap perjalanan ke arah puncak
gunung, selalu ditandai dengan tempat singgah yang biasa disebut pos, tempat
yang menganjurkan beristirahat. Pos 1
kaki Rinjani berada di tengah sabana yang mengasyikkan, dengan duduk diam
beristirahat. Setelah itu bertemu pos 2, tempat para pendaki memulai makna
konsumsi. Makan siang yang akan terhidang dari ‘chef’ yang sebenarnya adalah
porter pembawa beban.
Di dalam catatan saya, waktu tempuh dari pos 1 menuju pos 2
adalah 50 menit dan melintas padang rumput dengan kondisi jalan yang
landai. Pada pos 2, saya beristirahat satu jam. Dua jam kemudian, tibalah di
pos 3. Seperti sebuah revolusi, keadaan berubah begitu mulai mengedipkan mata.
Dari pos ini, takkan ada lagi jalan landai dan memanjakan. Di depan sana hanya
ada tanjakan yang bahkan kadang curam, kemiringan hanya bisa diduga-duga telah
mencapai 45 derajat, juga akan ada bukit penyesalan yang barangkali menyimpan
penyesalan telah berada di punggungan gunung yang tak menganjurkan mencari suaka.
Lalu perjalanan dilanjutkan dengan hujan yang dari tadi
menunggu jatuh. Ia tak punya alibi untuk berhenti atau datang silih berganti
dengan kabut dan awan-awan berwarna gelap yang tak sigap menampung air di atas
sana. Tetapi, Rinjani memang harus dinikmati tanpa henti. Hujan cuma air yang
melintas penutup tubuh.
Vegetasi kecil berganti jadi pepohonan yang tegak dengan
ranting-ranting yang rapuh. Selain bertumpu pada akar yang menahan tanah untuk
menapak tangga menuju tempat yang lebih tinggi, saya menemui beberapa batuan
beku sisa letusan yang terjadi entah berapa ratus tahun silam, batuan yang menyimpan sejarahnya sendiri.
Untuk mencapai tempat yang lebih datar, luas dan menemukan
pandang pada puncak gunung, saya mencatat telah menghabiskan waktu empat jam
dari pos 3, tentu dengan jam istirahat yang lebih lama dan detak jantung yang
cepat tanpa pola.
Menembus padang rumput |
Berisitrahat di pos 2 selagi menunggu makan siang dihidangkan |
Sore akan berakhir di Plawangan Sembalun dan saya tak
menemukan apa yang disebut senja dan matahari tenggelam. Yang saya tahu, ada
tenda yang sudah menunggu, dan saya mengakhiri ingatan pada tempat yang telah
disiapkan para porter -orang-orang gunung yang menyimpan cerita
persahabatan.
Dalam malam yang telah jadi malam, saya membaca dalam hati puisi
Goenawan Mohamad :
“Dingin tak tercatat pada termometer.
Kota hanya basah.
Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja disana.
Seakan gerimis raib dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”
Begitulah, saya tak hendak jadi melankolis, tapi di tepi
Segara Anak yang masih mengirim sinyal pada telepon genggam, ada kenangan dan
hal-hal yang tak semuanya bisa dituliskan.
Cawang, Mei 2013
Pos 3 dan seorang porter yang menunggu keputusan untuk melanjutkan perjalanan |
Beberapa meter menuju plawangan. |
Segara anak dan pohon edelweis |
mas bro yang satu ini memiliki sudut pandang yang unik dalam mencaikan benak. terasa ringan, tapi kadang harus memaksa diri kembali pada baris kalimat sebelumnya untuk membuat diri lebih "dong" tentang what is the maksud. tapi tetap ringan...
BalasHapusmenggiring kembali ingatan kaki pegal kala itu, dan beberapa orang yg "kaget" terhadap keindahan sang Rinjani.
joss gandhoss...