Di penghujung tahun 1980-an warga kota rindu Adipura, piala dari
penguasa negara untuk kebersihan dan ketertiban yang dijaga, atau setidaknya tanda
daerah menjaga hubungan baik dengan Jakarta. Untuk menghilangkan rindu itu,
dimulailah slogan “Jogja Berhati Nyaman”
Begitulah awal tulisan Bagus Kurniawan, pewarta foto detik.com
dalam pengantar katalog pameran foto Jogja Berhenti Nyaman yang diselenggarakan
Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta di Bentara Budaya, 26 – 30 Desember 2013 lalu,
ketika pada akhir tahun orang-orang memilih melihat kembali hal-hal yang baik,
para pewarta foto memilih melihat kota yang sedang bersedih.
Judul pameran adalah “plesetan” dari yang telah sahih.
Masyarakat Jogja telah terbiasa me-modivikasi dan membuat re-kreasi idiom dan
kata-kata untuk membuat lelucon, karena dari lelucon akan terjadi perbincangan
yang tak kaku dan mengeras, lalu Jogja akan dinikmati dengan cara tertawa.
Terhanyut aku akan nostalgia.
Sekarang bagaimana orang-orang bisa tertawa setelah kasus
penembakan di Lapas Cebongan oleh militer bersenjata? Bagaimana bisa ceria
berkendara ketika antre pada lampu pengatur lalu lintas semakin panjang?
Bagaimana mengingat-ingat kejadian di cagar budaya yang hilang dan terkepung
gedung besar? Dan bagaimana-bagaimana lain yang sudah menjadi bagai, sebentuk
pengandaian dalam pesimis yang terselubung.
Sebuah tempat yang telah dikultus waktu menjadi kota pasti
akan berubah dan berkembang, banyak teori yang melahirkan kesimpulan itu. Saya
teringat jargon Dagadu –produk lokal Jogja yang terkenal, di akhir tahun
2000-an; “Kapan ke Jogja lagi? Tugu sudah gede lo sekarang, kalau ketemu pasti
pangling”
Dagadu tak hendak membuat lelucon dari jargon itu, tetapi
sedang menawarkan ramalan dan angan-angan yang tak sepenuhnya indah. Jika sempat
berhenti di Tugu, perhatikanlah perempatan yang sudah terkepung barisan gedung
tinggi yang katanya untuk kepentingan pariwisata. Tugu Jogja yang menjadi “land
mark” kota budaya semakin kini semakin mengerdil dan terus jadi pendek.
Di persimpangan langkahku terhenti.
Macet Total - Bramastyo Adhy, Tribun Jogja |
Gantung Tugu - Novan Jemmi Andrea, Koran Sindo |
Kembali ke ruang pameran. Di depan foto Desi Suryanto, pewarta foto Harian Jogja, saya
juga berhenti dan terdiam. Jogja tak hanya perubahan suasana, tapi perang
perebutan kuasa visual. Di Jembatan Kewek -beberapa meter dari Malioboro yang
merupakan penanda masa lalu, setiap orang berebut minta diperhatikan, atas nama
polusi visual, publikasi komersil produk tak boleh ada, namun mereka yang tak
senang menghantam dengan visual yang juga lebih buruk.
Pada rangkaian serial foto “Robohnya Sekolah Kami” saya
membuat pandangan sunyi seperti seorang garin yang hampir mati dalam Robohnya
Surau Kami ciptaan AA Navis. Betapa menyedihkan ketika bangunan sekolah harus
kalah dari kekuasaan modal dan angkuhnya hasrat memiliki. Mereka yang sedang
bersekolah atau yang telah menjadi alumni di SMA dan SMP “17” 1 itu akan mengekalkan masa-masa indah yang jadi pahit ketika memulai cerita; disini itu
dulu… Barangkali juga para Tentara Pelajar dan orang-orang Boedi Oetomo yang
merancang kemerdekaan republik ini akan jadi muram dari dalam kematiannya
karena tak ada lagi bangunan sejarah itu.
Reresik Sampah - Desi Suryanto, Harian Jogja |
Dari Serial Foto "Robohnya Sekolah Kami" |
Foto-foto yang dipasang di dinding Bentara Budaya waktu itu
adalah gambar(an) paling jujur dari Jogja masa kini, atau lebih
apa adanya dibandingkan brosur dari biro perjalanan yang berisi candi prambanan
dan borobudur yang puluhan kilometer jauhnya dari batas kota Jogja.
Keluar ruang pamer, saya hanya mencoba menerka dan berteori
tentang kota, ia menjadi jahat ketika menghilangkan romansa dan kenangan tanpa
sisa.
Ah Jogja, berubahlah. Tapi jangan sampai saya merintih
sendiri ditelan deru kotamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar