Satu
hal yang menarik dari sebuah kesepian adalah pemahaman tentang kesepian itu
sendiri. Memahami bentuk diam yang tak berwujud namun nyata dirasakan. Tetapi
kesepian berbeda dengan kesunyian. Perbedaan itu tak pernah punya pengertian
yang sahih. Setiap orang boleh mendapat penjelasan secara pribadi, karena
seperti yang Chairil Anwar katakan bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing.
Sepi
dan sunyi bisa menjadi tempat bermula untuk bercerita. Theodore mengalami
keduanya begitu dalam, sepi yang jadi sunyi telah berulang dengan sempurna.
Pada
ruangan berwarna pastel, Theodore memperlihatkan pekerjaannya sebagai pembuat
surat pesanan yang akan dikirimkan untuk seseorang yang tak pernah ia kenal –ia
juga tak akrab dengan pemesannya. Theodore menjadi pengarang yang mahir. Ia
kesepian sehingga dapat menguasai kata-kata. Theodore hanya perlu berbincang
dengan komputer di depannya, lalu mesin itu akan mencatat ucapannya kemudian
jadilah sebuah surat.
Tapi
Theodore tak selamanya melindungi psikisnya dari riuh di luar diri. Dalam
sebuah kesempatan, ia membuat hubungan asmara yang intim dengan sebuah sistem
operasi berjenis kelamin perempuan bernama Samantha. Ya, sebuah sistem operasi
komputer yang sangat cerdas secara sintesis.
Begitulah
awal cerita “Her”, film ciptaan Spike Jonze itu berhasil menjaga sepi agar
tetap sepi. Theodore mengukuhkan kesepian lewat perbincangannya dengan sesuatu
yang berbentuk algoritma.
Seperti
Theodore yang selalu menceritakan apa saja dengan Samantha, orang-orang menjadi
pencerita yang terbuka pada masa ketika komputer dan internet menjadi kebutuhan
sosial yang wajib. Media sosial adalah katarsis yang dianggap bijak untuk
mengungkapkan apa yang terjadi hari ini.
Florence,
perempuan yang merupakan bagian dari kerumunan media sosial hari ini pun
melakukan hal yang biasa dilakukan oleh lain yaitu bercerita. Namun tidak
seperti Theodore, Florence mengawali ceritanya dengan kekesalan yang jamak,
tentang kelangkaan bahan bakar yang membuatnya mengantri lalu mengubah antrian
itu menjadi sebuah tragedi. Dari sebuah SPBU di Jogja, ia mengutuk kota dan
penyelenggara negara. Ia hanya bercerita melalui media sosial.
Jika
kita mau menjauhi diri dari bentuk benar dan salah, maka kita akan pelan-pelan
memahami cerita Florence. Siang itu tak gampang memperoleh premium karena
antrian begitu panjang, ia memilih bahan bakar lain yang tak bersubsidi dengan
anggapan barisan pengantri lebih sedikit karena harga yang lebih mahal. Namun
ia keliru, pada antrian panjang yang ia tinggalkan ternyata menyimpan kekesalan
secara kolektif. Kecemburuan menyisakan amarah pengantri yang tertib. Ketika
tiba pada gilirannya untuk menerima bahan bakar, ia tak hanya berhadapan dengan
petugas pengisi, melainkan akumulasi kekecewaan orang-orang di SPBU, meskipun
menurut penuturannya, ia telah begitu santun memperoleh gilirannya dalam
antrian.
Florence
kecewa karena tidak mendapatkan apapun di sana. Ia membalas amarah orang-orang
dengan amarah yang lain melalui media sosial, lalu orang-orang membalasnya
kembali, dan seterusnya, dan seterusnya. Dalam dunia maya yang jauh dari tatap
mata, perang mulut dan adu pendapat menjadi hidup karena setiap orang berteriak
dari dalam persembunyian.
Namun
adakah yang janggal dari cerita tentang kekecewaan?
Kini
Florence telah meminta maaf. Mahasiswi itu mengerti ada konflik yang harus
diakhiri, ada amarah yang harus berhenti. Setiap orang yang membuka diri untuk
bercerita di media sosial memang harus mengimbanginya dengan membuka hati.
Florence tak hanya membawa motor kecilnya ke tempat pengisian bahan bakar.
Barangkali ia juga membawa kekecewaan yang lain atau malah sebentuk kesepian
seperti milik Theodore, tapi yang ini belum begitu pasti.
Yang
pasti ia kecewa dengan negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar