20.9.14

Kemayoran


Tintin baru saja mendarat di bandara Kemayoran. Bersama Snowy, Capt. Haddock dan Prof. Kalkulus mereka mendatangi Jawa. Waktu itu Jakarta adalah transit bagi Herge, seorang pembuat cerita yang tak pernah ke Indonesia. Kisah itu digambarkannya pada seri Tintin “Penerbangan 714”.
Di sana ada Kemayoran, sebuah wilayah terbatas –bahkan tak tampak bentang alamnya- yang hanya didatangi beberapa jam. Kemayoran yang dituliskan pada komik hanyalah bandara, tentu saja tidak ada yang berharga dari sebuah terminal, namun ruang transit tak bisa diabaikan begitu saja. Dalam singgah yang sementara, ada kedatangan dan keberangkatan yang disatukan.
Pada Kemayoran, saya juga pernah menitip singgah. Beberapa saat lalu saya menjadi relawan fotografer untuk Kelas Inspirasi Jakarta yang ke-3 di SDN 02 Petang. Dalam beberapa jam, saya menemani relawan pengajar yang menjadi guru sehari di sana. Kemayoran yang saya datangi sepeti analogi umum yang selalu diumbar; urip gur mampir ngumbe, hidup hanya mampir minum.
Di Kemayoran tak ada yang istimewa namun juga tak terlalu biasa. Dalam lingkungan padat hunian, Kemayoran adalah kompetisi dan pengakuan untuk bertahan di ibukota negara. Beberapa guru di SDN 02 Petang memiliki cerita yang sama tentang murid-muridnya yang dekat dengan kekerasan. Di Kemayoran waktu adalah waktu dan uang adalah uang. Keduanya didekatkan dengan cara seadanya.
Sejak dikeluarkan kebijakan Kartu Jakarta Pintar oleh Gubernur DKI Jakarta, sekolah dianggap menjadi penting karena sumbangan yang diterima. Setiap siswa mendapat Rp.180.000,- per bulan dari program pemerintah daerah itu, ada yang sempat tak melanjutkan sekolah namun akhirnya kembali ke SD demi uang subsidi untuk membeli baju dan sepatu. Sebagian siswa bahkan “dipaksa” untuk tidak mampu dan meminta bantuan. Sayangnya ada gaya hidup yang salah tempat; baju sekolah dan sepatu baru telah bersubtitusi dengan telepon genggam yang canggih.
Saya sempat bertemu dengan Indra, murid kelas enam yang bercita-cita menjadi ABRI (TNI). Tiap malam selepas pulang sekolah –menurut pengakuannya- ia hanya berkumpul bersama teman-temannya di warung internet dan game center, ia masih haus hiburan dan butuh banyak bermain. Begitulah caranya beradaptasi di Jakarta yang terlalu banyak menuntut dan barangkali besok ia lupa kalau pernah bercita-cita.
SD Negeri Petang memiliki waktu yang khas, mereka mulai belajar pukul 12 siang ketika petang baru saja dimulai dan berakhir pada pukul 5 sore. Dengan keadaan seperti ini, Indra dan teman-temannya tidak memiliki tidur siang, pola istirahat yang lazim dimiliki oleh anak-anak sekolah dasar, namun dengan kondisi biologis seperti ini, ia menjadi laki-laki yang selalu tidur mendekati pagi.
Sebentar lagi relawan pengajar Kelas Inspirasi akan berangkat dari Kemayoran. Saya dan teman-teman relawan telah mempersiapkan perpisahan, juga para siswa SDN 02 Petang. Sebelum meninggalkan sekolah, kami hanya menitipkan potongan kertas berbentuk bintang yang di dalamnya hanya ada dua baris tulisan; sebuah nama dan sebuah cita-cita. Di kertas berbentuk bintang itulah ada ingatan yang dikekalkan.
Sore itu, di Kemayoran yang padat, Indra bercita-cita menjadi tentara.

Kertas berbentuk bintang; sebuah nama, sebuah cita-cita



1 komentar: