Tintin
baru saja mendarat di bandara Kemayoran. Bersama Snowy, Capt. Haddock dan Prof.
Kalkulus mereka mendatangi Jawa. Waktu itu Jakarta adalah transit bagi Herge,
seorang pembuat cerita yang tak pernah ke Indonesia. Kisah itu digambarkannya
pada seri Tintin “Penerbangan 714”.
Di
sana ada Kemayoran, sebuah wilayah terbatas –bahkan tak tampak bentang alamnya-
yang hanya didatangi beberapa jam. Kemayoran yang dituliskan pada komik
hanyalah bandara, tentu saja tidak ada yang berharga dari sebuah terminal,
namun ruang transit tak bisa diabaikan begitu saja. Dalam singgah yang
sementara, ada kedatangan dan keberangkatan yang disatukan.
Pada
Kemayoran, saya juga pernah menitip singgah. Beberapa saat lalu saya menjadi
relawan fotografer untuk Kelas Inspirasi Jakarta yang ke-3 di SDN 02 Petang.
Dalam beberapa jam, saya menemani relawan pengajar yang menjadi guru sehari di
sana. Kemayoran yang saya datangi sepeti analogi umum yang selalu diumbar; urip
gur mampir ngumbe, hidup hanya mampir minum.
Di
Kemayoran tak ada yang istimewa namun juga tak terlalu biasa. Dalam lingkungan
padat hunian, Kemayoran adalah kompetisi dan pengakuan untuk bertahan di
ibukota negara. Beberapa guru di SDN 02 Petang memiliki cerita yang sama
tentang murid-muridnya yang dekat dengan kekerasan. Di Kemayoran waktu adalah
waktu dan uang adalah uang. Keduanya didekatkan dengan cara seadanya.
Sejak
dikeluarkan kebijakan Kartu Jakarta Pintar oleh Gubernur DKI Jakarta, sekolah
dianggap menjadi penting karena sumbangan yang diterima. Setiap siswa mendapat
Rp.180.000,- per bulan dari program pemerintah daerah itu, ada yang sempat tak
melanjutkan sekolah namun akhirnya kembali ke SD demi uang subsidi untuk
membeli baju dan sepatu. Sebagian siswa bahkan “dipaksa” untuk tidak mampu dan
meminta bantuan. Sayangnya ada gaya hidup yang salah tempat; baju sekolah dan
sepatu baru telah bersubtitusi dengan telepon genggam yang canggih.
Saya
sempat bertemu dengan Indra, murid kelas enam yang bercita-cita menjadi ABRI
(TNI). Tiap malam selepas pulang sekolah –menurut pengakuannya- ia hanya
berkumpul bersama teman-temannya di warung internet dan game center, ia masih
haus hiburan dan butuh banyak bermain. Begitulah caranya beradaptasi di Jakarta
yang terlalu banyak menuntut dan barangkali besok ia lupa kalau pernah
bercita-cita.
SD
Negeri Petang memiliki waktu yang khas, mereka mulai belajar pukul 12 siang
ketika petang baru saja dimulai dan berakhir pada pukul 5 sore. Dengan keadaan
seperti ini, Indra dan teman-temannya tidak memiliki tidur siang, pola
istirahat yang lazim dimiliki oleh anak-anak sekolah dasar, namun dengan
kondisi biologis seperti ini, ia menjadi laki-laki yang selalu tidur mendekati
pagi.
…
Sebentar
lagi relawan pengajar Kelas Inspirasi akan berangkat dari Kemayoran. Saya dan
teman-teman relawan telah mempersiapkan perpisahan, juga para siswa SDN 02
Petang. Sebelum meninggalkan sekolah, kami hanya menitipkan potongan kertas
berbentuk bintang yang di dalamnya hanya ada dua baris tulisan; sebuah nama dan
sebuah cita-cita. Di kertas berbentuk bintang itulah ada ingatan yang
dikekalkan.
Sore
itu, di Kemayoran yang padat, Indra bercita-cita menjadi tentara.
Kertas berbentuk bintang; sebuah nama, sebuah cita-cita |
Oh, i love this post. Keep writing, bang :)
BalasHapus